Uqbah ibn Amir, si penyayang Kambing

Ini tulisan yang kedua, hehehehehe….Masih tentang Hijrah Rasulullah ke Madinah. Cuma tokohnya beda, ditulisan pertama tentang sahabat Abdurrahman bin Auf, sekarang tentang penggembala Kambing yakni Uqbah ibn Amir Al Juhani.

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam baru saja sampai di pinggiran kota Yatsrib setelah sekian lama dinanti-nanti. Kaum lelaki di kota Madinah memadati jalan dengan mengumandangkan tahlil (laa ilaaha illallah) dan takbir (Allahu Akbar) dengan riang gembira menyambut kedatangan Nabi pembawa kasih sayang dan sahabatnya, Abu Bakar ash-Shiddiiq. Sementara itu, kaum wanita dan anak-anak kecil naik ke atap rumah agar dapat melihat langsung sosok Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam sambil bertanya-tanya, “Yang mana dia? .. Yang mana dia?” Rombongan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam berjalan di tengah para penyambutnya dengan penuh wibawa.

Mereka dikelilingi wajah-wajah yang telah lama merindukannya dan hati yang telah sekian lama mendambakannya. Mereka tak kuasa mencucurkan air mata bahagia dan menabur senyum kegembiraan. Tapi, ‘Uqbah bin ‘Amir al-Juhani tidak menyaksikan rombongan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dan tidak bergabung dengan orang-orang yang menyambut kedatangannya.
Ini karena sebelumnya ia sudah pergi menuju daerah pedalaman untuk menggembalakan kambing-kambingnya, karena khawatir seluruh modal hidupnya itu akan kelaparan dan mati. Ia sangat mencintai kambing-kambingnya. Namun tidak lama berselang, kebahagiaan yang menyelimuti kota Madinah merambah ke seluruh pedalaman, baik yang dekat dengan Madinah maupun yang jauh. Kebahagiaan memancar di seluruh pelosok dan akhirnya sampai juga kepada ‘Uqbah bin ‘Amir yang sedang membawa kambing-kambingnya di tengah padang ilalang.
Berikut ini, kita akan menyimak penuturan langsung dari ‘Uqbah bin ‘Amir tentang perjumpaannya dengan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam. “Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam tiba di Madinah ketika aku sedang menggembala kambing. Ketika berita kedatangannya sampai kepadaku, aku langsung meninggalkan gembalaku dan bergegas untuk menemui beliau tanpa memperhatikan apa pun di sepanjang perjalanan. Setelah bertemu, aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah engkau bersedia membaiatku?’ Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam balik bertanya, ‘Siapa engkau?’ “Uqbah bin ‘Amir al-Juhani,’ jawabku singkat.

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam berkata lagi, ‘Mana yang lebih engkau sukai: cara baiat untuk orang Badui atau baiat untuk orang yang hijrah?’
Aku menjawab, ‘Baiat untuk orang yang hijrah.’

Lalu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam membaiatku seperti baiat yang biasa diberikan oleh orang-orang yang hijrah. Sehari semalam aku tinggal bersama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, lalu pulang ke kampungku untu menggembalakan kambing. Ada dua belas orang, termasuk aku, yang masuk Islam tapi tinggal jauh dari Madinah karena harus menggembala kambing di pedalaman.

Kami membahas masalah ini, lalu ada yang berkata, ‘Kita akan rugi besar jika dari hari ke hari tidak pernah menemui Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam untuk mengajari kita masalah-masalah agama dan membacakan wahyu yang diterima oleh beliau dari langit. Untuk itu, seyogianya setiap hari ada seorang di antara kita yang pergi ke Madinah dan tidak perlu khawatir dengan kambingnya karena kita akan menjaga kambing-kambing itu.’ Aku menimpali, ‘Kalian saja yang pergi menemui Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam secara bergiliran dan biarlah aku yang menjaga kambing kalian karena aku sangat mengkhawatirkan kambingku dan tidak bisa memercayakannya kepada orang lain.’ Sejak hari itu, setiap pagi ada seorang di antara kami yang menemui Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dan meninggalkan kambingnya padaku.

Apabila ia telah kembali, aku belajar kepadanya seluruh bacaan yang ia dengar dan pelajaran yang ia pahami. Tapi setelah merenung, aku berkata kepada diri sendiri, ‘Celakalah engkau! Apakah hanya demi kambing-kambing yang tidak banyak berguna itu, engkau rela kehilangan kesempatan bertemu dengan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dan belajar langsung darinya tanpa melalui perantara?’ Setelah itu, aku langsung meninggalkan kambing-kambingku dan bergegas menuju Madinah.

Aku tinggal di dalam masjid, di samping rumah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam Tidak pernah terlintas dalam hati ‘Uqbah bin ‘Amir -ketika mengambil keputusan yang sangat krusial itu- bahwa satu dekade berikutnya, ia menjadi salah seorang ulama besar generasi sahabat, seorang ahli Al-Qur’an, panglima perang yang tangguh, dan gubernur muslim yang disegani. ‘Uqbah bin ‘Amir tidak pernah berangan-angan (walau hanya sebatas angan-angan) bahwa setelah meninggalkan kambing-kambingnya dan menemani Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, ia akan berada di garis depan pasukan muslim yang menaklukkan Ummud Dunya (pusat dunia), Damaskus, dan tinggal di tengah kebun-kebunnya yang lebat nan hijau dekat pintu Tuma (salah satu pintu gerbang kota Damaskus di masa lalu).

Tidak pernah terbayang dalam benak ‘Uqbah bin ‘Amir (walau sekadar bayangan) bahwa suatu saat nanti dia diangkat menjadi salah seorang panglima pasukan yang akan menaklukkan kawasan zamrud dunia, yakni negeri Mesir, dan menjadi gubernurnya serta membangun rumah di kaki bukit Muqaththam (adalah bukit yang terletak tidak jauh di sebelah selatan Kairo dan tidak begitu tinggi).

Pelajaran apa yang saya petik dari kisah tersebut ? Seringkali saya berat meninggalkan pekerjaan atau keluarga untuk pergi ke Majelis Ilmu. Seolah-olah saya akan kehilangan keuntungan dengan meninggalkan pekerjaan. Padahal Allah berjanji akan meninggikan derajat orang-orang berilmu, dan janji Allah itu Pasti !

Asahlah kampakmu, jangan hanya terus menerus menebang pohon.

Salam Hangat dari saya…yuk sama-sama belajar

One thought on “Uqbah ibn Amir, si penyayang Kambing

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

One moment, please...

Please wait while your request is being verified...